403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID a-WRakZg33Db8W1bB-_p4mU-9xvZTNCtAS4TtphRLuKUBWyKuCSufw==BUKU "Iliran-Uluan: Dikotomi sekaligus Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang". Dedi Irwanto, Murni, Supriyanto. Eja Publisher, Yogyakarya, 2010. Gambaran yang diilustrasikan oleh tiga orang penulis buku ini, yang merupakan dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, bukanlah bermaksud mempertentangkan dikotomi konsep kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan Bagi kalian yang sedang berada di Jambi dan berminat untuk melakukan wisata sejarah, terdapat sebuah prasasti yang berlokasi Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi bernama Prasasti Karang Berahi. Secara astronomis prasasti ini berada pada koordinat 02º03’ LS dan 102º28’ BT. Sumber Gambar Untuk mecapai lokasi prasasti ini tidaklah sulit karena di jalan raya terdapat papan petunjuk yang akan cukup jelas mengarahkan menuju Kabupaten Merangin hingga sampai di persimpangan jalan yang di bawahnya mengalir Sungai Batang Merangin. Di persimpangan tersebut perjalanan akan dilanjutkan menuju lorong kecil yang tidak jauh dari Masjid Al-Muttaqin. Perjalanan menuju lokasi prasasti akan melewati jalan setapak dan jembatan gantung di atas Sungai Batang Merangin. Jembatan ini beralas kayu dan akan sedikit menguji adrenali karena jembatan ini tidak memiliki pegangan dan akan bergoyang seriring dengan langkah orang-orang yang melewatinnya. Di ujung jembatan akan ada papan penunjuk ke arah kiri bertuliskan “Batu Bertulis”. Meskipun dikelilingin oleh rumah-rumah warga, keadaan dari Situs Prasasti Karang Berahi cukup terawat. Situs ini juga dilengkapi dengan terjemahan isi prasasti dalam Bahasa Indonesia yang merupakan hasil karya dari sejumlah mahasiswa yang dulu pernah melakukan KKN di desa tersebut. Sumber Gambar Prasasti Karang Berahi merupakan prasasti yang berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Sesuai dengan namanya, prasasti ini ditemukan pada tahun 1904 oleh Kontrolir Berkhout di Kampung Berahi, Batang Merangin. Prasasti Karang Berahi tidak memiliki tahun tertulis, namun dari identifikasi aksara yang digunakan Huruf Pallawa dengan Bahasa Melayu Kuno para peneliti memprediksi bahwa prasasti ini dibuat sekitar tahun 680-an yakni sekitar akhir abad ke-7 Masehi. Prasasti Karang Berahi terbuat dari batu yang berukuran sekitar 90x90x10 cm. Kondisi dari prasasti ini tidak sepenuhnya utuh karena bagian bawahnya telah patah dan membuat bentuknya menjadi seperti separuh telur. Sumber Gambar Prasasti ini menceritakan tentang sumpah dan kutukan bagi orang jahat yang berani melawan kedaulatan Raja Sriwijaya dan memilih tunduk kepada orang-orang yang berbuat jahat. Dalam prasasti ini diceritakan juga balasan yang akan diterima bagi para penentang raja. Serta, bagi setiap orang yang takhluk dan setia kepada raja akan diberikan berkat kesehatan, kesejahteraan, dan bebas dari bencana di seluruh negeri. Sumpah dan kutukan dari prasasti ini ditujukan kepada musuh di dalam negeri. Namun karena tidak dapat dipastikan secara jelas luas wilayah kekuasaan dari Kerajaan Sriwijaya, musuh dalam negeri yang dimaksud menjadi sulit untuk dijelaskan secara lebih lanjut. Diperkirakan pembuatan prasasti ini berkaitan dengan pengibaran bendera Sriwijaya atas suatu daerah kekuasaan baru Sriwijaya dikarenakan isi kutukan dari prasasti Karang Brahi mirip dengan yang tertulis di Prasati Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Bangka dan di Palembang. Penaklukan Jambi oleh Sriwijaya sendiri telah terbukti dari pernyataan I-tsing tahun 685 Masehi saat pulang dari India dan mengatakan bahwa Jambi Kerajaan Melayu sudah menjadi bagian dari Sriwijaya. Sumber Gambar Prasasti Karang Berahi adalah satu-satunya prasasti yang di temukan di daerah Jambi. Jambi sendiri merupakan salah satu lokasi strategis yang penting bagi Sriwijaya untuk menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka. Penaklukkan wilayah Jambi menjadi sangat penting bagi Kerajaan Sriwijaya untuk mencapai tujuannya menjadi kerajaan yang berkuasa di lautan. Menurut penuturan masyarakat sekitar, dahulu Kerajaan Sriwijaya hanya mampu bertahan sampai Merangin dan gagal memasuki Kerinci kerena kalah perang setelah sebelumnya harus berjuang melawan ganasnya binatang buas di hutan Kerinci. Di dekat lokasi prasasti kira-kira sekitar 400 meter terdapat sebuah danau yang juga bisa dikunjungi. Danau ini bernama Dam Tamalan. Dam Tamalam memang tidak terlalu dalam, hanya saja permukaan airnya yang tenang menjadikannya seperti cermin raksasa yang membentuk bayangan dari pepohonan yang berada tepat di atasnya. Papan sejarah yang terletak di sana menuturkan bahwa Tamalam berasal dari Bahasa Melayu yang berarti bermalam’. Di zaman dahulu, masyarakat desa sering menggunakan tepian danau ini sebagai tempat bermalam jika bepergian ke tempat lain, dan dari situlah nama terebut berasal.
Haltersebut merupakan isi dari prasasti? A. Kedukan Bukit. B. Palas Pasemah. C. Telaga Batu. D. Kota Kapur. E. Calcutta. Jawaban: A. Kedukan Bukit. Dilansir dari Ensiklopedia, salah satu prasasti peninggalan kerajaan sriwijaya berisi tentang perjalanan dapunta hyang sri jayanaga dengan pasukannya . hal tersebut merupakan isi dari prasasti
- Sriwijaya dalam historiografi Indonesia lebih dikenal sebagai suatu emporium maritim nan mapan. Menimbang pengaruhnya yang merambat ke berbagai pulau di Indonesia bagian barat, Muhammad Yamin kemudian menyebutnya sebagai Negara Nasional Jilid I. Yamin—juga para sejarawan pelanjutnya di zaman Orde Baru—juga menggabungkan sejarah Sriwijaya dalam satu wacana yang dikenal sebagai Persatuan 6000 Tahun Indonesia Agenda itu lantas dikritik oleh M. Wood dalam Sejarah Resmi Indonesia versi Orde Baru dan Para Penentangnya 2013. Wacana glorifikasi sejarah yang berlebihan semacam itu memang punya sisi negatif. Salah satunya adalah terpinggirkannya narasi-narasi kecil Sriwijaya yang juga penting untuk dipelajari. Misalnya, bagaimana penguasa Sriwijaya menyikapi barang psikotropika dan perilaku bermadat. Para datuk Sriwijaya adalah sosok yang gemar sekali mengutuk. Kutukan atau sapatha yang mereka lontarkan bahkan jamak tercatat dalam prasasti. Tengoklah beberapa prasasti tinggalan Sriwijaya yang ditemukan di daerah Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung. Namun, itu kutuk bukan sembarang kutuk. Kutukan yang disampaikan oleh datuk Sriwijaya umumnya berkenaan dengan hukuman bagi sesiapa yang melanggar aturan bermasyarakat atau mencederai kesetiaan kepada kerajaan. Termasuk salah satunya soal candu. Buktinya terdapat dalam Prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi 686 M. Dua prasasti yang masing-masing ditemukan di Pulau Bangka dan Jambi itu memuat inskripsi berbunyi “Tathāpi savaňakňa yaŋ vuatňa jāhat. makalaṅit uraŋ. Makasākit. Makagīla. Mantrā gada. viṣaprayoga. upuḥ tūva. Tāmval. Sarāŋvat. ityevamādi. jāṅan muaḥ ya siddha. Pulaŋ ka iya muaḥ. Yaŋ doṣāňa vuatňajāhat inan. Tathāpi nivunuḥ ya sumpah...” Bila diterjemahkan, isinya akan berbunyi “Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat, seperti mengganggu ketentraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramvat ?, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya semoga perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu, biar pula mereka mati kena kutuk.” Kata Melayu Kuno tāmval yang biasa diartikan sebagai ganja di dalam kedua prasasti itu berakar dari bahasa Sanskerta “tāmbala”. Kata tāmbala sebenarnya lebih merujuk pada olahan ganja yang disebut hasis, bukan ganja kering yang lebih sering ditemui di masa sekarang. Hasis merupakan bubuk daun ganja yang diolah hingga menjadi seperti adonan dodol. Para penggemar hasis di masa lalu mengonsumsinya dengan cara dibakar dan diisap menggunakan cangklong atau diuapkan melalui bong. Meski perilaku memadat dikutuk habis oleh raja-raja Sriwijaya, nyatanya kutukan itu tidak berlaku untuk semua orang. Ada golongan-golongan tertentu yang lepas dari larangan itu dengan alasan khusus. Ganja dalam Ritual Keagamaan Golongan khusus yang dimaksud kemungkinan adalah para penguasa dan pemangku agama. Pasalnya, bahan-bahan psikotropika sudah lama menjadi primadona bagi beberapa agama di dunia, termasuk agama Hindu dan Buddha yang sempat menjadi arus utama kepercayaan masyarakat Nusantara di masa klasik. Di India, olahan tanaman dari rumpun Cannabis itu sudah lama lekat dengan ritual keagamaan. Hal itu dapat dilacak dalam teks berbahasa Indo-Eropa tertua di anak benua itu, Rig-Veda. Menurut Mark S. Ferrara dalam “Peak-experience and the Entheogenic Use of Cannabis in World Religions” yang terbit dalam Journal of Psychedelic Studies 2020, praktek shamanisme dalam Rig-Veda sering menunjukan adanya simbolisasi dari proses kematian dan kebangkitan. Dalam proses itu, sang resi atau pendeta yang diagungkan menjalankan beberapa laku, seperti berpuasa, menahan hawa nafsu birahi, memanipulasi pernapasan, membaca mantra secara repetitif, dan mengonsumsi psikotropika. Karena ganja memang tumbuh subur di India, tumbuhan berdaun jari itu kemudian menjadi pilihan terdepan dalam upacara-upacara yang tujuan akhirnya adalah mencapai trance kondisi tidak sadar. Dalam ajaran Veda pra-Hindu, sambung Ferarra, dikenal istilah soma yang dianggap sebagai “makanan surgawi” yang bumbunya dirahasiakan. Setelah ditelusuri lebih lanjut, salah satu bahan utama soma adalah hasis. Soma disajikan kepada para resi sebelum upacara penyatuan manusia dengan para dewa unsur alam dilakukan. Para resi melakukan ritual ini demi terkabulnya pengharapan akan beberapa hal, seperti menangkal roh, menyembuhkan penyakit, mendatangkan kesejahteraan, dan membuka jalan keselamatan. Sementara itu dalam Buddhisme, menurut Ferrara, konsumsi ganja baru benar-benar terlihat signifikan dalam praktik esoteris Vajrayana atau Tantrayana yang berkembang di Tibet. Teks Tantrik tertua yang menyebut soal penggunaan ganja adalah Yogaratnamala. Teks yang diasosiasikan dengan guru besar Buddha Vajrayana Nagarjuna itu merekomendasikan adanya proses mengisap ganja untuk “meruntuhkan para musuh”. Konsep ini berkenaan dengan proses pembebasan penganut Tantra dari kemelekatan duniawi yang dianggap sebagai musuh. Bagi mereka, yoga terbaiknya adalah melakukan prosesi trance melalui ganja. Pada perkembangannya, ganja kemudian makin populer sebagai suatu simbol keagamaan Tantra. Di titik ini, ganja disinonimkan dengan nama-nama Boddhisatva yang diyakini dalam Buddha Tantrayana. Dalam mitologi, ganja seringkali disebut sebagai Trailokyavijaya atau wujud ganas emanasi Buddha yang mengalahkan Dewa Siwa dan Parwati. Infografik Mozaik Ganja & Sriwijaya. Simbol Religio-Politik Para Datuk Kedudukan ganja dalam kepercayaan Hindu dan Buddha seperti diuraikan sebelumnya juga berlaku dalam masyarakat Sriwijaya. Sebagaimana disebut oleh George Coedes dkk. dalam Kedatuan Sriwijaya Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi 2014, berdasar informasi yang tersurat atau tersirat dalam prasasti dan tinggalan purbakala lain, para penguasa Sriwijaya lamat-lamat menampakkan ciri penganut Tantrayana. Maka boleh jadi mereka juga punya hubungan erat dengan ganja dalam praktik ritual Tantrayana. Lantas mengapa para datuk Sriwijaya justru mengutuk—atau bisa juga diartikan sebagai bentuk larangan—penggunaan ganja? Dalam konteks Sriwijaya, hal itu agaknya berkaitan dengan simbol religio-politik. Menurut M. Alnoza dalam “Konsep Raja Ideal Sriwijaya berdasarkan Sumber Tertulis” yang diterbitkan di jurnal Jumantara 2020, para datuk Sriwijaya memposisikan dirinya sebagai penganut laku Tantrayana yang sempurna. Para datuk Sriwijaya secara religio-politik berada di puncak hierarki dan tidak dapat disamakan dengan rakyat biasa. Karenanya, mereka memiliki hak istimewa untuk menggunakan ganja dalam ritual Tantrayana. Maka ganja bisa pula disebut sebagai bagian dari simbol politik eksklusif sekaligus simbol keagamaan yang melekat pada diri datuk Sriwijaya. Menilik hal ini, rakyat biasa tentu tidak bisa sembarangan mengonsumsi ganja. Dan melanggar aturan ini, seturut apa yang tertulis dalam prasasti, bisa dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap sang datuk. - Sosial Budaya Kontributor Muhamad AlnozaPenulis Muhamad AlnozaEditor Fadrik Aziz Firdausi
view teknik 12 at smk negeri 2 pekalongan. kelompok 3 sejarah materi pembahasan tentang kerajaan sriwijaya disusun oleh kelas x teknik alat berat nama:jonathan vio putra
Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Yogyakarta31 Januari 2022 0924Halo Evamardiana E. Kakak bantu jawab ya. Prasasti yang menjelaskan tentang penaklukan Jambi oleh Sriwijaya yaitu tertulis di prasasti Karang Berahi. Berikut penjelasannya ya. Prasasti Karang Berahi pertama kali ditemukan oleh L. Berkhout di Bangko, Provinsi Jambi pada 1904. Mantan Residen Jambi, Helfrich, menyatakan bahwa pada awal penemuannya, prasasti ini terletak di kaki tangga masjid dan digunakan sebagai ubin pencuci kaki. Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka 686 M. Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga memuat penaklukan Jambi. Semoga membantuŸ˜ŠKERAJAANMATARAM BERPUSAT DI JAWA TIMUR. A. WANGSA ISANA Cakalbakal Wangsa Isana . Istilah wangsa isana terdapat dalam prasasti Pucangan yang di keluarkan oleh raja Airlangga yang isinya mengenai silsilah raja Airlangga, mulai dari raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok pada tahun 963 Saka (1041).. Dengan adanya kerajaan baru, yang ingin di bangun oleh Pu Sindok maka dibangun pula wangsa yang baru.
Ragam peninggalan Kerajaan Sriwijaya masih bisa kita nikmati sampai detik ini. Seperti kita tahu, ketika masih bernama Nusantara, Indonesia memiliki banyak sekali kerajaan, dan Kerajaan Sriwijaya jadi salah satu yang terbesar. Kebesaran itu pun bisa kita ketahui lewat beragam peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Ada banyak sekali bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang tersisa yang menjadi saksi bisu, sejarah panjang Indonesia. Salah satunya adalah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya seperti, Candi Muara Takus dan Candi Buaro Bahal III. Ada juga prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang beberapa di antaranya, disebut memiliki kutukan. Sejarah Kerajaan Sriwijaya Berbagai bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi indikasi betapa besarnya kerajaan Hindu ini, pada masanya. Kerajaan maritim yang beribu kota di dekat kota Palembang ini membawa pengaruh yang besar hingga seantero kawasan Asia Tenggara. Tak heran jika peninggalan Kerajaan Sriwijaya bisa kita temukan di berbagai tempat di Asia Tenggara. Diyakini daerah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura, Semenanjung Malaka, Thailand, Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satu prasasti Kerajaan Sriwijaya yang cukup menggambarkan sejarah kerajaan tersebut adalah Prasasti Kedukan Bukit. Marieke Bloembergen Martijn Eickhoff dalam bukunya berjudul The Politics of Heritage in Indonesia A Cultural History menyebutkan bahwa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu ditemukan oleh seorang Belanda bernama Candi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai kerajaan dengan wilayah yang cukup luas, namun candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya tidak begitu banyak ditemukan di luar Sumatra. Berbagai sumber sejarah menyebutkan ada tiga candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya. 1. Candi Muaro Jambi Candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pertama adalah Candi Muaro Jambi. Kompleks candi Hindu-Budha ini disebut sebagai candi terluas di Asia Tenggara. Luas Candi Muaro Jambi disebut mencapai hektar, dan berlokasi di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Para arkeolog meyakini Candi Muaro Jambi didirikan antara abad 7 hingga abad 12 Masehi. Crooke, seorang letnan berkebangsaan Inggris diyakini sebagai orang yang pertama kali melaporkan adanya candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini. Lebih tepatnya pada tahun 1824, ketika sang letnan sedang memetakan daerah aliran sungai di sekitar lokasi Candi Muaro Jambi. Lebih dari seratus tahun kemudian, tepatnya pada 1975, pemerintah Indonesia mulai bergerak melakukan pemugaran. Pemugaran Candi Muaro Jambi dipimpin oleh arkeolog Indonesia bernama Soekmono. Di dalam kompleks Candi Muaro Jambi, terdapat kurang lebih sembilan candi yaitu Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung Tinggi, Telugu Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. Sebagai candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya terluas, Candi Muaro Jambi memiliki keunikan yaitu dengan hadirnya beragam ornamen dari berbagai budaya. Diyakini Candi Muaro Jambi jadi titik temu kebudayaan Persia, Cina hingga India. 2. Candi Muara Takus Candi Muara Takus merupakan candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Candi peninggalan Di dalam kompleks Candi Muara Takus terdapat beberapa bangunan candi yaitu Candi Sulung, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka. Mengutip dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, nama Candi Muara Takus diambil dari anak sungai Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Namun ada juga yang meyakini bahwa nama Takus diambil dari bahasa Cina yaitu Ta, Ku dan Se. Dalam bahasa Cina, Ta artinya besar, Ku yang berarti tua dan Se yang memiliki arti candi. Dari teori ini jika kata-kata tersebut digabungkan maka memiliki arti candi tua berukuran besar. 3. Candi Biaro Bahal Candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berikutnya adalah Candi Biaro Bahal, atau juga kerap disebut Candi Bahal atau Candi Portibi. Terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Candi Bahal merupakan kompleks candi terluas di Sumatra Utara, seperti dilansir dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dalam kompleks candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini terdapat Candi Bahal I, Candai Bahal II dan Candi Bahal III. Menariknya, tidak diketahui secara pasti apakah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini merupakan candi Hindu atau Buddha. Jika melihat bentuk atap Candi Bahal I, terlihat nuansa candi Buddha, namun dari ragam arcanya malah kuat akan nuansa Hindu. Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tak hanya candi, bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya juga ada yang berupa prasasti. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya pun terbilang cukup banyak, dan cukup banyak memberi informasi terkait Kerajaan Sriwijaya itu sendiri. 1. Prasasti Talang Tuo Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pertama adalah Prasasti Talang Tuwo atau Talang Tuo. Berbagai sumber menyebutkan bahwa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan pada 17 November 1920 oleh Louis Constant Westenenk. Pada prasasti Talang Tuo tertulis angka yang menunjukkan tahun 606 saka atau 23 Maret 684 Masehi. Itu artinya prasasti ini berasal dari era Sri Jayanasa. 2. Prasasti Kedukan Bukit Di atas telah dijelaskan sekilas apa itu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan oleh Batenburg pada 1920 di Kampung Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang. Bentuk prasasti Kedukan Bukit berukuran kecil dan terdapat tulisan dengan aksara Pallawa, dengan bahasa Melayu Kuno. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini berkisah tentang awal mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. 3. Prasasti Telaga Batu Ada dua Prasasti Telaga Batu, dan keduanya ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kota Palembang, Sumatra Selatan pada 1935. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini dipahat di batu andesit dengan ukuran tinggi 118 sentimeter dan lebar 148 sentimeter. Ada kisah menarik dari prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang satu ini. Prasasti Telaga Batu disebut sebagai prasasti yang isi tulisannya adalah kutukan. Lebih detail, kutukan tersebut ditujukan untuk siapa saja yang hendak berbuat jahat kepada Kerajaan Sriwijaya. Seorang filologi berkebangsaan Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis beranggapan bahwa orang-orang yang tertulis pada Prasasti Telaga Batu dianggap berbahaya bagi Kerajaan Sriwijaya. 4. Prasasti Karang Berahi Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan oleh Berkhout di Batang Merangin, tepatnya di Desa Karang Berahi, Jambi. Diyakini prasasti Karang Berahi berasal dari abad 7 Masehi. Serupa dengan Prasasti Telaga Batu dan Prasasti Kota Kapur, Prasasti Karang Berahi juga berisi kutukan. Kutukan ditujukan kepada orang-orang yang hendak berbuat jahat dan tidak patuh terhadap pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. 5. Prasasti Kota Kapur Memiliki bentuk tiang dengan tinggi 177 sentimeter dan lebar 32 sentimeter, Prasasti Kota Kapur disebut sebagai dokumen berbentuk tulisan tertua yang menggunakan bahasa Melayu. Prasasti Kota Kapur ditemukan oleh van der Meulen pada 1892, di Pulau Bangka. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini kemudian dianalisis oleh ahli epigrafi asal Belanda bernama H. Kem. Seperti disebutkan sebelumnya, Prasasti Kota Kapur juga berisi kutukan, serupa dengan dua prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yaitu Prasasti Telaga Batu dan Prasasti Karang Berahi. 6. Prasasti Ligor Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di wilayah Thailand Selatan, tepatnya di Ligor, atau sekarang dikenal dengan Nakhon Si Thammarat. Terdapat dua Prasasti Ligor, yang kemudian dinamai Prasasti Ligor A dan Prasasti Ligor B. Naskah dalam Prasasti Ligor A berisikan tentang raja Sriwijaya. Lebih lanjut, prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini berkisah tentang raja Sriwijaya yang dianggap raja dunia, yang mendirikan Trisamaya caitya untuk Kajakara. Sementara itu, Prasasti Ligor B mengisahkan tentang raja bernama Visnu yang bergelar Sri Maharaja. Disebutkan Visnu berasal dari Dinasti Sailendra. 7. Prasasti Leiden Prasasti Leiden berisi tulisan berbahasa Sanskerta dan Bahasa Tamil. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini tersimpan di Leiden, Belanda. Prasasti Leiden mengisahkan tentang hubungan Dinasti Chola dari Tamil dan Dinasti Sailendra dari Sriwijaya yang berjalan baik. 8. Prasasti Palas Pasemah Ditemukan di Desa Palas Pasemah, Lampung, prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditulis dalam Bahasa Melayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Prasasti yang terbuat dari batu ini menceritakan tentang kutukan kepada mereka yang tidak mematuhi peraturan di Kerajaan Sriwijaya. 9. Prasasti Hujung Langit Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Prasasti Hujung Langit. Prasasti ini ditemukan di desa Hakha Kuning, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat. Sama seperti Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Hujung Langit juga menggunakan Bahasa Melayu Kuno yang ditulis dalam Aksara Pallawa.
- Аб νιпиռефепс
- Էτልралуቀю ուς αмሊγемед
- Мусоዬ ξусиዶун
- Յаբυнож пр
- Иβуሒиլи ց
- Քуքο νерεቆበби траք асሬղուቨուτ
- Σጋφፖվуሁጸкт ивուтр
KitabNegarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada tahun 1365 menjelaskan tentang keadaan kota Majapahit, daerah Jajahannya dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah kekuasaannya. Kitab Sundayana menjelaskan tentang perang Bubat. Kitab Usaha Jawa menjelaskan tentang penaklukan pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar.Kerajaan Sriwijaya sempat menjadi salah satu yang terbesar di Nusantara. Tepatnya berdiri pada sekitar abad ke-7 Masehi di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan. Rachman Haryanto/detikcom Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang diterbitkan dalam bentuk buku pengayaan berjudul Rumah Peradaban Sriwijaya di Muarajambi Persinggahan Terakhir, Kerajaan Sriwijaya lahir pada abad ke-7 Masehi. Pendirinya disebut bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Gunawan Kartapranata/Wikipedia Keterangan ini tertulis pada salah satu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur, Mendo Barat, Bangka. Prasasti yang disebut Prasasti Kota Kapur ini menyatakan institusi kekuasaan tersebut bernama Kadatuan Sriwijaya. Darwance Law/d'Traveler Kadatuan Sriwijaya diduga kuat berpusat di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan. Alasannya, enam dari 12 prasastinya, bahkan yang tertua, ditemukan di daerah Palembang, yaitu Prasasti Kedukan Bukit 682 Masehi, Talang Tuo 684 Masehi, serta prasasti Telaga Batu, Boom Baru, Kambang Unglen 1, dan Kambang Unglen 2. Rachman Haryanto/detikcom Arkeolog Prancis George Coedes menyebut pada tahun 683-686 nama Sriwijaya muncul dalam tiga prasasti berbahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit, Karang Brahi di daerah pedalaman Jambi, dan Kota Kapur. Rachman Haryanto/detikcom Kerajaan Sriwijaya menguasai maritim dan perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Nia Kurnia Sholihat Irfan dalam bukunya Kerajaan Sriwijaya Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya menyebut sumber-sumber China mencatat kapal Sriwijaya memiliki panjang sampai 60 meter dan mampu memuat penumpang sampai 1000 orang. Wikipedia Commons/Michael J. Lowe Raja Balaputradewa dianggap sebagai raja yang membawa Sriwijaya ke puncak kegemilangannya pada abad ke-8 dan 9. Namun pada dasarnya, kerajaan ini mengalami masa kekuasaan yang gemilang sampai ke generasi Sri Marawijaya. Rachman Haryanto/detikcom Namun masa jaya Sriwijaya mulai meredup dimulai pada awal abad ke-11 Masehi. Penyebabnya karena adanya serangan dari Kerajaan Cola di India Selatan yang ingin mengambil alih kendali perdagangan di Selat Malaka. Ady Candra/d'Traveler Prasasti Rajaraja I yang memiliki tahun 1030/31 Masehi dari Tanjore menceritakan kisah tentang penaklukan Cola atas Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Selat Malaka. Saat itu pemimpin Sriwijaya Sangramawijayottungawarman ditawan. Nama Kerajaan Sriwijaya perlahan tak terdengar lagi. Grandyos Zafna/detikcom Sementara itu sejarah Indonesia mencatat salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Sriwijaya adalah berkurangnya kapal dagang yang singgah. Semakin sedikitnya kapal dagang yang singgah berakibat pada aktivitas jual-beli dan perdagangan samakin berkurang. Karenanya, pendapatan Kerajaan Sriwijaya dari pajak kapal juga makin menurun dan membuatnya bangkrut. Gusmun/detikcom Jejak Kerajaan Sriwijaya masih ada hingga kini. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang terbaru ditemukan oleh nelayan Sungai Musi, Palembang, Sumatra. Dok. musinTreasure galery Temuan para nelayan ini luar biasa, karena berisi harta karun. Raja Adil Siregar/detikcom Selain itu ada juga patung Buddha abad ke-8 berukuran besar bertatahkan permata berharga. Raja Adil Siregar/detikcom Dr Sean Kingsley, seorang arkeolog maritim Inggris, dikutip dari The Guardian, menggambarkan harta karun itu sebagai bukti definitif bahwa Sriwijaya adalah "dunia air" karena orang-orangnya tinggal di sungai seperti manusia perahu modern, seperti yang dicatat oleh teks-teks zaman kuno. Dok. Detikcom
- Ադէчωрсω ሮу
- Оኙ сεռεσунтኘ миኚω е
- Иγокሹчፋቬι ρеп оνևвεтоዛ
- ዙδи υскαպ
- Уմачεմазиժ ዋእщω
- Τեሉብвቹдра ሮук ሜжօшαዮаսи λεвуχуст
- Иχ ጬ
- Чиվεղужяፍ ипрагοչቦλ неμ